Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Himedik.com - Kesehatan bukanlah perihal fisik semata, tapi juga menyangkut masalah psikis. Jika fisik sehat, tapi jiwa terganggu secara otomatis kondisi tubuh juga akan terganggu. Begitu pula sebaliknya.
Berbicara mengenai masalah kejiwaan/mental/psikologis, cakupannya luas, bukan hanya gila. Stres, depresi, gangguan kecemasan, itu juga termasuk dalam masalah psikologis dan itu dialami oleh Kim.
"Jantungku berdebar kencang, aku merasa sesak napas, dan mulutku seperti kapas. Aku tahu ini gejala kecemasan yang telah aku coba lawan dan sembunyikan," ungkap Kim yang dilansir dari laman healthline.
Kecemasannya semakin bertambah saat dirinya menyadari bahwa keesokan harinya dia dan suaminya akan melakukan perjalanan bebas anak dari Chicago ke California.
Baca Juga
"Masalahnya adalah jika kamu khawatir tentang kecemasan yang akan datang, itu akan datang dan itu terjadi," kata Kim.
Kim Walters (nama disamarkan) mengalami serangan panik pertama kali di sebuah kantor dokter pada Oktober 2011. Saat itu ia mengaku tidak bisa melihat, harus berjalan perlahan, dan tekanan darahnya melonjak tinggi.
Bahkan gangguan kecemasannya semakin memburuk saat dirinya pulang dari perjalanan ke Lembah Napa bersama suaminya.
"Ketika kembali ke rumah, aku tahu bahwa kecemasan ini telah mencapai puncaknya dan tidak berkurang. Aku tidak nafsu makan dan tidak bisa tidur di malam hari, bahkan terkadang bangun dalam keadaan panik."
"Aku bahkan tidak ingin membacakan cerita sebelum tidur pada anak-anakku, padahal itu merupakan hal favoritku, dan itu membuatku tidak berdaya," kenang Kim.
Kecemasannya melanda hampir ke mana pun dia pergi. Namun, dia tahu bahwa tinggal di dalam bersama dua anaknya bukanlah solusi.
Kim terus mencoba melawannya terlepas dari betapa mengerikannya ia tidur atau betapa cemasnya hari itu. Ia tidak pernah berhenti, meski setiap hari terasa melelahkan dan penuh ketakutan.
Akhirnya Kim memutuskan untuk pergi ke dokter guna mengetahui apakah kecemasannya diperparah oleh alasan fisiologis dan psikologis. Hasil pemerikasaan menunjukkan bahwa tiroidnya tidak berfungsi dengan baik dan dokter meresepkannya obat.
Seolah tak puas, Kim juga mengunjungi naturopath dan ahli gizi, yang berusaha mengevaluasi apakah makanan tertentu memicu kecemasannya.
"Aku merasa seperti mengejar sesuatu karena ini tidak membantu," kata Kim.
Tak lama, seorang dokter kedokteran integratif meresepkan Xanax yang bisa diminumnya saat ia mengalami serangan panik.
Namun, itu tidak berhasil untuknya. Ia merasa selalu cemas dan tahu bahwa obat-obatan tersebut membuat ketagihan dan bukan solusi jangka panjang.
Setelah bertahun-tahun berjuang akhirnya Kim menemukan terapis yang tepat dan terbukti dapat membantu mengatasi kecemasannya.
Kim didiagnosa dengan kecemasan umum dan terapisnya menggunakan terapi perilaku kognitif (CBT), yang mengajarkan pasien untuk membingkai ulang pikiran yang tidak membantu.
"Misalnya, 'Saya tidak akan pernah cemas lagi' menjadi 'Saya mungkin memiliki kebiasaan baru, tetapi saya bisa hidup dengan kecemasan,'" jelas Kim.
Selain itu, terapis juga menggunakan paparan dan pencegahan respons (ERP), yang membuat pasien takut dan mencegah untuk menghindarinya.
"Ini sangat membantu. Gagasan di balik terapi pajanan adalah untuk mengekspos diri Anda pada hal-hal yang ditakuti, berulang kali, dengan langkah bertahap," katanya.
"Eksposur berulang terhadap rangsangan yang ditakuti memungkinkan kita untuk 'terbiasa' dengan kecemasan dan mengetahui bahwa kecemasan itu sendiri tidak begitu menakutkan."
Kim mulai terbiasa, saat dia menghadapi pemicu paniknya, ia tidak menghindarinya dan bahkan menjadi lebih mudah untuk pergi ke tempat umum.
Kim mengunjungi terapisnya beberapa kali sebulan selama tiga tahun setelah serangan panik pertamanya. Dengan semua kemajuan yang dia buat, dia merasakan dorongan untuk membantu orang lain yang mengalami kecemasan.
Sekarang Kim bekerja sebagai terapis dalam program rawat jalan di rumah sakit kesehatan perilaku di Illinois, di mana ia menggunakan terapi paparan untuk membantu pasien dengan gangguan kepribadian obsesif-kompulsif (OCPD), gangguan stres pasca-trauma (PTSD), dan kecemasan.
Tag
Terkini
- 5 Fakta Menarik Olahraga Pole Dance yang Dilakukan Azizah Salsha
- Kate Middleton Umumkan Dirinya Menderita Kanker, Tepis Semua Konspirasi Liar yang Beredar
- Ovarium Kiri Kiky Saputri Diangkat karena Kista, Masih Adakah Peluang Hamil di Kondisi Ini?
- Takut ASI Berkurang Drastis saat Puasa? Begini Kata Dokter
- Wulan Guritno Berhenti Konsumsi Gula, Manfaatnya Tak Cuma Bikin Kulit Lebih Kenyal Lho
- Seperti Dialami BCL, Ini 5 Penyebab Perut Buncit pada Wanita
- Mengenal Sindrom Stevens-Johnson yang Dialami Kartika Putri, Wajahnya Dipenuhi Luka Melepuh
- Agar Ibu dan Bayi Tetap Sehat, Ketahui 5 Cara Mengatasi Baby Blues
- 3 Manfaat Pilates, Olahraga yang Rutin Dilakukan Bunga Citra Lestari
- Celine Dion Alami Stiff Person Syndrome, Apa Itu?
Berita Terkait
-
5 Tips Menjaga Kesehatan Anak ala Tasya Kamila, Bisa Ditiru Moms!
-
4 Kebiasaan agar Jantung Tetap Muda dan Sehat, Yuk Lakukan Mulai Sekarang
-
Cegah Osteoporosis Jangan Cuma Minum Susu, Konsumsi Juga Makanan Ini
-
Tak Cuma Lezat, Kacang Mete Juga Punya 5 Manfaat untuk Kesehatan
-
7 Efek Begadang bagi Kesehatan, dari Obesitas hingga Menurunkan Konsentrasi
-
6 Makanan yang Baik untuk Otak, Berikut Rekomendasinya
-
Selain Menambah Energi, Ini Efek Makan Nasi Putih yang Perlu Anda Tahu
-
Selain Menambah Energi, Ini Efek Makan Nasi Putih yang Perlu Anda Tahu
-
5 Cara Menjaga Kesehatan Mata Sejak Dini, Biar Terhindar dari Penyakit di Hari Tua!
-
Ingin Punya Kesehatan Mental yang Bagus? Hiatus dari Media Sosial selama Seminggu Saja!