Jum'at, 19 April 2024
Rauhanda Riyantama : Minggu, 28 Oktober 2018 | 16:15 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Himedik.com - Pada sebuah studi yang dipublikasikan jurnal Science Advances beberapa tahun lalu, dilaporkan bahwa seorang ahli biokimia asal Swiss menemukan zat turunan dari sebuah tanaman lumut langka yang dijual di internet. Zat dari lumut tersebut diketahui bisa menimbukan efek halusinasi bagi pemakainya. 

Setelah dilakukan riset farmasi, zat dari lumut itu terdapat kandungan aktif yang memiliki efek menghilangkan rasa sakit dan antiradang yang lebih kuat dibanding senyawa aktif tetrahydrocannabinol (THC) pada ganja. Bahkan, ini diklaim legal untuk digunakan.

Lantas, para peneliti mengatakan bahwa lumut ini memiliki potensi untuk menjadi alternatif medis yang lebih efektif dibanding ganja. Hasil ini sekaligus memperkuat temuan pada tahun 1994, seorang ahli fitokimia asal Jepang bernama Yoshinori Asakawa menemukan liverwort atau lumut hati (radula perrottetii) memproduksi zat alami yang disebut perrottetinene (PET). 

Asakawa mengungkapkan, PET memiliki hubungan dengan THC, yang mana ditemukan kemiripan satu sama lain di masing-masing atom. Dan lumut hati ini hanya tumbuh di Jepang, Selandia Baru, dan Kosta Rika.  

"Sungguh menakjubkan bahwa hanya dua spesies tumbuhan, yang terpisah oleh evolusi 300 juta tahun lalu, yang bisa memproduksi zat psychoactive cannabinoids," ungkap Jurg Gertsch, pemimpin riset ini.

Kemudian, para peneliti dari University of Bern di Swiss itu mempelajari efek dari PET dan membandingkannya dengan THC pada otak tikus. Ditemukan bahwa PET bisa lebih cepat mengaktifkan reseptor zat cannabinoid. Selain itu, PET juga menunjukkan kemampuan antiinflamasi yang lebih kuat dibanding THC.

Para peneliti menambahkan, tikus tidak mendapat efek halusinasi yang biasa didapat saat mengonsumsi THC, karena reseptor cannabinoid yang diasosiasikan dengan THC tidak menjadi aktif. "Zat alami ini memiliki efek psikoaktif yang lebih lemah dan pada waktu yang sama mampu menghambat proses inflamasi di otak," kata Andrea Chicca, salah satu anggota tim peneliti dalam studi ini.

Dengan temuan ini, para peneliti berharap bisa membuka jalan bagi penggunaan PET dalam terapi kesehatan penyakit-penyakit kronis. Namun, mengingat PET baru diujicobakan pada sedikit hewan, hasil temuan ini masih perlu ditunjang oleh studi lainnya agar semakin memperkuat.

BACA SELANJUTNYA

Sudah Coba Segala Cara, Kulit Gatal Wanita Ini Sembuh setelah Pakai Ganja